A.
Pengertian
Karakter
Istilah karakter
berasal dari bahasa Yunani, charassein yang berarti mengukir.
Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau
permukaan besi yang keras. Dari sini kemudian berkembang pengertian karakter
yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku.
Menurut Doni
Koesoema (2007:80) memahami bahwa karakter adalah sama dengan kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik yang bersifat khas dari
seseorang yang bersumber dari hasil bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan. Menurut
Pusat Bahasa Depdiknas, pengertian karakter adalah bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,
dan watak.
Pembentukan karakter
bangsa merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Sisdiknas
2003 dikatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Makna ungkapan tersebut
begitu dalam dan sangat mulia, karena dalam tujuan pendidikan tersebut
terkandung prinsip keseimbangan. Pendidikan kita tidak hanya untuk membentuk
anak-anak yang hanya pintar
dan cerdas saja, tetapi juga berkepribadian dan berkarakter/berakhlak mulia,
sehingga melalui pendidikan ini diharapkan akan muncul generasi yang cerdas
dari sisi intelektual, sosial emosional dan spritual.
Pendidikan karakter
pada anak usia dini sudah sepatutnya menjadi prioritas para orang tua dalam
lingkungan keluarga, karena pendidikan karakter harus dimulai dari dalam
lingkungan keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan
karakter anak. Dukungan para orang tua ini sangat penting dalam keberhasilan
pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Lingkungan keluarga dan
masyarakat yang merupakan tempat dimana anak bergaul dan bersosialisasi memiliki
tanggung jawab dalam pembentukan karakter anak.
Jadi bisa disimpulkan
bahwa karakter itu erat kaitannya dengan personality. Seseorang bisa dikatakan
berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Individu yang
berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal
yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, lingkungan, bangsa dan
negara dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
B.
Faktor Pembentukan Karakter
Adapun berikut faktor yang
memengaruhi pembentukan
karakter anak usia dini, yaitu sebagai
berikut :
a)
Faktor bawaan
Bawaan dari
dalam diri anak dan pandangan anak terhadap dunia yang dimilikinya, seperti
pengetahuan, pengalaman, prinsip-prinsip moral yang diterima, bimbingan,
pengarahan dan interaksi (hubungan) orangtua-anak.
b)
Faktor lingkungan
Karakter berhubungan dengan perilaku
positif yang berkaitan dengan moral yang berlaku, seperti kejujuran, percaya
diri, bertanggung jawab, penolong, dapat dipercaya, menghargai, menghormati,
menyayangi, dan sebagainya. Pada dasarnya, setiap anak memiliki semua perilaku
positif tersebut, sebagaimana telah ditanamkan oleh Sang Pencipta di dalam
kodratnya. Masalahnya, kemampuan dasar yang terdapat di dalam diri anak itu
tidak bisa berkembang dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan dengan
sungguh-sungguh melalui pengasuhan dan bimbingan yang positif dari ibu-ayah. Begitupun dengan kompetensi sosial pada anak.
Pengembangan karakter
anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan terutama dari orangtua. Anak belajar
untuk mengenal nilai-nilai dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dilingkungannya tersebut. Dalam pengembangan karakter social anak, peranan
orang tua dan guru sangatlah penting, terutama pada waktu anak usia dini.
Berbagai bentuk
kejahatan dan tindakan tidak bermoral dikalangan anak menunjukan bahwa anak
didik kita belum memiliki karakter sosial yang baik. Hal ini perlunya pengembangan
karakter yang sesuai dengan anak, yang tidak sekedar pengetahuan, dan
doktrinasi, tetapi lebih menjangkau dalam wilayah emosi anak.
Usaha atau upaya yang
dapat dilakukan oleh guru dan orang tua dalam membangun karakter anak usia dini
adalah:
a. Memperlakukan anak
sesuai dengan karakteristik anak.
b. Memenuhi kebutuhan
dasar anak antara lain kebutuhan kasih sayang, pemberian makanan yang bergizi.
C. Kompetensi
Sosial
Kompetensi sosial merupakan
salah satu jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh anak-anak dan pemilikan
kompetensi ini merupakan suatu hal yang penting. Menurut Leahly (1985)
kompentensi merupakan suatu bentuk atau dimensi evaluasi diri (self
evaluation), dengan kompetensi yang dimilikinya.
Kompetensi
sosial adalah kemampuan anak untuk mengajak maupun merespon
teman- temannya dengan perasaan positif, tertarik untuk berteman dengan
teman-temannya serta diperhatikan dengan baik oleh mereka, dapat memimpin dan
juga mengikuti, mempertahankan sikap memberi dan menerima dalam berinteraksi
dengan temannya, (Vaughn dan
Waters dalam Sroufe dkk, 1996).
Menurut Adam (dalam Martani &
Adiyanti, 1991), kompetensi
sosial mempunyai hubungan yang erat dengan penyesuaian sosial dan kualitas
interaksi antar pribadi. Membangun kompetensi sosial pada kelompok bermain
dapat dimulai dengan membangun interaksi di antara anak-anak, interaksi yang
dibangun dimulai dengan bermain hal-hal yang sederhana, misalnya bermain peran,
mentaati tata tertib dalam kelompoknya, sehingga kompetensi sosialnya akan
terbangun.
Arikunto mengemukakan kompetensi
sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan
peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan
anggota masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru
tercermin melalui indikator:
a)
interaksi guru dengan siswa
b)
interaksi guru dengan kepala sekolah
c)
interaksi guru dengan rekan kerja
d)
interaksi guru dengan orang tua
siswa
e)
interaksi guru dengan masyarakat.
Kompetensi
sosial juga mempunyai hubungan yang erat dengan penyesuaian sosial dan kualitas
interaksi antar pribadi. Membangun suatu kompetensi sosial pada kelompok
bermain anak dapat dimulai dari interaksi di antara anak-anak. Interaksi itu
pun dapat dibangun dari bermain dalam hal-hal yang sederhana, misalnya bermain
antar peran, mentaati tata tertib dalam suatu kelompoknya, sehingga kompetensi
sosial itu pun dapat terbentuk pada anak.
Interaksi
dengan teman sebaya juga merupakan satu sumber utama perkembangan sosial maupun
kognitif, khususnya perkembangan empati. Dalam lingkungan tetangga, rumah dan
sekolah, anak dapat belajar membedakan bermacam-macam hubungan teman
sebaya-sahabat, teman bergaul, teman dalam kegiatan tertentu, kenalan baru, dan
orang asing. Dengan membangun dan memelihara hubungan antar teman sebaya dan
pengalaman sosial, terutama melalui konflik teman sebaya, anak tersebut dapat
memperoleh pengetahuan mengenal dirinya dan dapat belajar tentang interaksi
sosial.
Jadi,
kompentensi sosial pada anak adalah suatu kemampuan untuk berinteraksi,
komunikasi, serta kemampuan beradaptasi kepada teman sebaya, lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan rumah.
Perkembangan
sosial anak diperoleh dari kematangan dan kesempatan belajar dari berbagai
respon lingkungan terhadap anak. Perkembangan sosial yang optimal diperoleh
dari respon tatanan sosial yang sehat dan kesempatan yang diberikan kepada anak
untuk mengembangkan konsep diri yang positif.
Dengan kegiatan
bermain, sikap anak terhadap orang lain dapat dikembangkan. Sebaliknya,
kegiatan belajar yang didominasi oleh aktivitas verbal dari guru cendrung
membuat anak bosan. Mereka juga merasa tidak dihargai guru, sehingga menghambat
perkembangan sosial anak.
Pengembangan sosial
dengan cara bermain sangat penting bagi anak. Pengembangan tersebut hendaknya mengacu
pada prinsip tentag pola- pola aktivitas sosial
pada masa kanak-kanak sebagai berikut :
a. Sejumlah
anak kecil bermain atau bekerja secara bersama dengan anak. Guru atau orang tua
diposisikan sebagai fasilitator atau penengah jika ada konflik yang susah dikendalikan oleh anak
sendiri.
b. Persaingan
merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha sebaik-baiknya. Pelajaran
bersaing menjadi bekal utama ketika kelak ia berada ditengah-tengah masyarakat
yang beragam
c. Kesediaan
untuk berbagi sesuatu dengan orang lain meningkat, dan berkurangnya sikap
keakuannya
d. Anak
kecil tidak mampu berprilaku simpatik sampai mereka pernah mengalami situasi
yang mirip dengan duka cita. Maksudnya,anak-anak dapat merasakan kesedihan atau
kegembiraan temannya jika ia pernah mengalami hal tersebut. Pengalaman tersebut
tidak harus benar-benar terjadi, melainkan bisa disiasati melalui melalui
cerita,menonton drama, ataupun bermain peran.
e. Rasa
empati anak berkembang jika dapat memahami ekspresi wajah atau maksud
pembicaraan orang lain.
f. Ketergantungan
terhadap orang lain dalam hal bantuan,perhatian,dan kasih sayang mendorong anak
berprilaku dengan cara yang diterima secara sosial. Dari sini hendaknya anak
diajari untuk dapat saling memberi dan menerima( take and give)
g. Anak
yang mempunyai kesempatan dan dorongan untuk membagi apa yang mereka miliki dan
tidak terus menjadi pusat perhatian keluarga, akan belajar memikirkan dan
berbuat untuk orang lain. Disini guru harus bisa memperhatikan anak didik
secara proporsional dan tidak membeda-bedakan satu sama lain.
D. Konsep
Pembentukan Karakter Sosial Usia Dini
Pengembangan
karakter anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan terutama dari orangtua. Anak
belajar untuk mengenal nilai-nilai dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang
ada dilingkungannya tersebut. Dalam pengembangan karakter social anak, peranan
orang tua dan guru sangatlah penting, terutama pada waktu anak usia dini.
Adapun usaha atau upaya yang dapat dilakukan oleh guru dan orang tua dalam
membangun karakter anak usia dini adalah:
a)
Memperlakukan
anak sesuai dengan karakteristik anak.
b)
Memenuhi
kebutuhan dasar anak antara lain kebutuhan kasih sayang, pemberian makanan yang bergizi.
c)
Pola
pendidikan guru dengan orangtua yang dilaksanakan baik dirumah dan di sekolah saling berkaitan.
d)
Berikan
dukungan dan penghargaan ketika anak menampilkan tingkah laku yang terpuji.
e)
Berikan
fasilitas lingkungan yang sesuai dengan usia perkembangannya.
f)
Bersikap
tegas, konsisten dan bertanggung jawab.
E. Faktor Pendukung Perkembangan Sosial
Prayitno (1991:113) mengemukakan
bahwa faktor pendukung perkembangan sosial adalah kesadaran
tentang diri sendiri, dan kesadaran tentang orang lain. Kecenderungan
anak memahami orang lain menyebabkan anak mudah bergaul dengan orang lain tanpa
mempertimbangkan untung ruginya. Selain itu untuk menciptakan dan mengembangkan
rasa sosial diperlukan kesadaran atas diri sendiri yang meliputi keinginan
ataupun emosinya, serta kesadaran atas diri
yang cukup tinggi. Kesadaran tentang diri orang lain, tentang perasaan orang
dan mampu menempatkan diri dengan orang lain akan memudahkan mengembangkan tingkah
laku sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar